Perkembangan Kearifan Lokal Kesenian Bantengan turonggo seto kinasih di Desa Wilo sebagai Pengenalan budaya di Masyarakat.

 

PERKEMBANGAN KEARIFAN LOKAL KESENIAN BANTENGAN DUSUN LUMANGSIH SEBAGAI MEDIA PENGENALAN BUDAYA DI MASYARAKAT

 


            Rabu (22/03/23), hari dimana kelompok kami melakukan wawancara Bersama gus Kholil. Pada saat itu kami bertanya tentang kesenian tradisional bantengan Turonggo Seto Kinasih kepada beliau yang selaku pendiri dan pengelola kesenian tersebut. Kami melakukan wawancara dan observasi tersebut di Dusun Lumangsih RT 01 RW 04, Desa Ketanireng, Kec Prigen, Kab Pasuruan. Penelitian dan observasi yang kami lakukan terlaksana sebanyak dua kali. Observasi yang pertama kami datang ke Dusun Lumangsih dan bertanya kepada beberapa masyarakat sekitar mengenai kearifan lokal kesenian bantengan di daerah tersebut. Selanjutnya, kami melanjutkan observasi pada tanggal dan hari yang telah ditentukan dan kami sepakati untuk melakukan wawancara dengan narasumber. Kami melakukan wawancara tersebut untuk memenuhi tugas projek kami yang bertema kearifan lokal. Kelompok Kami mengangkat tema tentang bantengan yang merupakan kesenial lokal di daerah pandaan karena kami melihat bahwa generasi muda pada zaman sekarang mulai meninggalkan kebudayaan dan kearifan lokal di Indonesia terutama kesenian tradisional bantengan karena perkembangan teknologi dan informasi yang sangat cepat yang menyebabkan remaja-remaja di Indonesia cenderung menyukai kebudayaan Barat.

        Dusun Lumangsih merupakan salah satu dusun yang terdapat di Desa Ketanireng,Kecamatan Prigen.Daerah ini memiliki banyak kekayaaan alam seperti sumber mata air,sawah, dan pepohonan yang dapat mencukupi kebutuhan warga sekitar,dan setiap tahunnya terdapat kegiatan slametan atau bersih desa sebagai tanda rasa syukur terhadap tuhan Yang Maha Esa karena telah dilimpahkan sumber daya alam yang melimpah.Dalam acara bersih desa setiap tahun, diadakan juga pertunjukan bantengan Turonggo Seto Kinasih sebagai hiburan dan tradisi di daerah tersebut

            Berdasarkan informasi dari Gus Kholil selaku pendiri kesenian bantengan Turonggo Seto Kinasih di dusun Lumangsih diketahui bahwa asal-usul berdirinya kesenian bantengan adalah karena angan-angan, ingin menghidupkan dan mengangkat kebudayaan Indonesia yang telah lama ditinggalkan dan tetap melestarikan kearifan lokal yang ada di daerah sekitar. Selain itu, Gus Kholil mengutarakan bahwa alasan beliau mendirikan kesenian bantengan Turonggo Seto Kinasih adalah karena keinginan pribadi. Kesenian bantengan Turonggo Seto Kinasih ibarat jaring yang memperbaiki nasib anak-anak jalanan, dan pengangguran dengan mengajak mereka menjadi pemain bantengan Turonggo Seto Kinasih, Gus Kholil menyebutnya “jaring tur nyaring” yang berarti mengajak untuk membenahi.

            Kesenian Bantengan Turonggo Seto kinasih didirikan pada tahun 2012 yang sekarang telah berusia 11 tahun. Turonggo Seto Kinasih merupakan turunan dari padepokan Gema Qalbu di Kabupaten Pasuruan yang berdiri pada tahun 2000. Kesenian Turonggo Seto kinasih beranggotakan sebanyak 6002 orang yang tersebar luas di seluruh Kabupaten Pasuruan dan 16.500 orang di seluruh Indonesia. Anggota dari kesenian Turonggo Seto Kinasih ini disebut sebagai tim turongges.

Dalam pertunjukannya, kesenian Bantengan Turonggo Seto Kinasih memiliki beberapa syarat yang harus diikuti oleh pemainnya. Syarat-syarat tersebut antara lain, Pemain tidak boleh menjadi pemabuk, dilarang menjalin hubungan dengan sesama pemain. Kesenian bantengan Turonggo Seto Kinasih, memiliki syarat mutlak, yaitu berpakaian serba hitam saat pertunjukan dan memakai kaos putih, syarat yang terakhir adalah mengikuti tradisi mandi malam selama 12 malam di padepokan dalam rangka mensucikan diri dan menghormati arwah nenek moyang.

Kesenian bantengan Turonggo Seto Kinasih memiliki filosofi yang diantaranya adalah meminta kepada tuhan yang Maha Esa untuk keselamatan dan Kesehatan, mensyukuri pemberian dari tuhan dan mengajarkan kebersamaan serta toleransi antar makhluk hidup. Setiap tahapan dan Gerakan-gerakan dalam kesenian bantengan Turonggo Kinasih ini juga memiliki filosofi, yaitu yang pertama ada pencak silat, memiliki filosofi kita harus terus maju dan bergerak di kehidupan untuk mencapai keridhoan dari Tuhan Yang Maha Esa, menjaga diri sendiri dari bahaya. Gerakan pencak silat di kesenian bantengan ini terinspirasi dari kegiatan berdzikir dan bela diri. Yang kedua adalah jaran gila, Gerakan jaran gila ini melambangkan nafsu manusia yang tidak terkendali, jaran gila memiliki arti, yaitu melambangkan dan menyembuhkan dengan kasih sayang, andap asor atau rendah hati serta kecintaan dengan kasih sayang. Yang ketiga adalah jaran punakawan. Jaran punakawan melambangkan 4 nafsu yang dimiliki oleh manusia, yaitu nafsu Lauwamah, nafsu Supiah, nafsu Amarah dan nafsu Mutmainah. Jaran punakawan memiliki filosofi pewayangan yaitu melambangkan makhluk tuhan. Selain itu wayang merupakan refleksi dari budaya Jawa, artinya dalam pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai, dan tujuan kehidupan, moralitas, harapan, dan cita-cita. Yang keempat adalah rampak barong. Pertunjukan  Rampak barong menggunakan kepala naga (Nukat ghoib) yang melambangkan rahasia diri sendiri. Selain kepala naga, rampak barong menggunakan property topeng butoh yang melambangkan amarah, dan angkara nafsu yang dimiliki oleh manusia. Yang kelima adalah bantengan massal, yang melambangkan gotong royong, kebersamaan, berkelompok, persatuan dan kekuatan. Yang terakhir adalah kesurupan massal. Kesurupan massal ini melambangkan manusia yang tidak luput dari lupa, selalu lalai terhadap tanggung jawabnya dan memiliki ego yang tinggi.

Pertunjukan kesenian bantengan TSK dimulai dari kegiatan memanjatkan doa-doa kepada yang Maha kuasa agar pertunjukan bantengan berjalan dengan lancar. Kemudian dilanjutkan dengan tarian jaran gila atau dalam bantengan biasa disebut dengan ‘Senderewe’ yang dilakukan oleh 4 orang. Tarian jaran gila  adalah sebuah seni tari dengan pemain yang seolah-olah kehilangan kesadarannya dengan gerakan tarian yang tidak beraturan. Kemudian disusul dengan jaranan Punakawan, yaitu seni tari yang menggunakan tokoh wayang Jawa ‘Punakawan’ sebagai simbol dari sifat dan nafsu yang dimiliki manusia. Selanjutnya adalah Rampak Barong atau biasa disebut ‘Jepaplok’. Pertunjukan Rampak Barong adalah pertunjukan yang menggabungkan tari dengan menggunakan barong disertai dengan lecutan cemeti (cambuk). Selanjutnya adalah pertunjukan inti, yaitu Banteng massal. Pada tahap ini semua pemain bantengan akan mengalami ‘kesurupan’ atau dimasuki oleh arwah nenek moyang. Pemain bantengan akan kehilangan kesadaran dengan melakukan hal-hal mistis dan menggunakan sesaji untuk menghormati arwah nenek moyang. Kegiatan yang terakhir adalah tahap penyembuhkan pemain yang kesurupan dengan meminta dan memanjatkan doa-doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam pertunjukannya bantengan memiliki beberapa ornament-ornamen dan kelengkapan, antara lain gamelan, terompet jaranan, kembang atau bunga, dupa, kemenyan, sajen untuk menghormati arwah leluhur dan beberapa alat lain yang mendukung kelancaran pertunjukan bantengan. Kesenian bantengan Turonggo Seto Kinasih diiringi oleh gending jawa dengan dua sinden dan dua dalang.

Saat ini kesenian bantengan Turonggo Seto Kinasih masih dalam masa istirahat sejenak dan Kembali pada pertapaan untuk meminta doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kesenian bantengan ini memiliki jeda setiap 1 sampai 2 tahun sekali untuk beristirahat. Namun pertunjukan bantengan Turonggo Seto Kinasih ini akan Kembali dilaksanakan jika ada acara-acara penting, seperti acara pernikahan, khitanan, bersih desa dan suroan atau maulud nabi.

 

Penyusun: Afifaturrozia Putri, Andhita Lintang, Dhani Sanjaya, Dinara Salvina, Wahyu Adi, Yurinda Vania,

 

 

 

 

Komentar